***
beritasebelas.id,Palembang – Pihak Dzuriyat Kiyai Marogan memberikan batas waktu beberapa pekan untuk merespon tanah Pulau Kemaro yang merupakan sah milik Kiyai Marogan. Bahkan secara sah dan meyakinkan merupakan hak Kiyai Marogan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No: REG.3863K/PDT/1987.
Apalagi kini Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang dikabarkan akan membuat tempat tersebut Kawasan Wisata Air, tanpa kordinasi dengan Dzuriyat Kiyai Marogan. Pihak Dzuriyat Kiyai Marogan mengancam akan menempuh jalur hukum melalui eksekusi pengadilan, jika pihak Pemkot tidak melakukan upaya kordinasi.
“Karena tanah Pulau Kemaro itu secara sah milik Kiyai Marogan. Dan itu berdasarkan Putusan Mahkamah Agung No: REG.3863K/PDT/1987,” jelas Ketua Komite Reforma Agraria Sumatera Selatan (KRASS) Dedek Chaniago selaku penyambung informasi Dzuriyat Kiyai Marogan saat menggelar press conference, Jumat 5 Maret 2021.
Ia menjelaskan pada tahun 2014 lalu pihak Dzuriyat sempat melakukan somasi dan dilakukan musyawarah, namun hingga saat ini belum ada titik terang. Jika hal ini terus dibiarkan saja tanpa ada kordinasi dari Pemkot ke dzuriyat maka hal ini akan diajukan ke eksekusi pengadilan. Jika hal ini dilakukan maka terpaksa tak ada aktivitas di tanah yang sedang proses eksekusi.
“Jadi, pada dasarnya Dzuriyat ingin Pemkot kordinasi. Pihak Dzuriyat tak mempermasalahkan jika ingin difungsikan sebagai sejarah, museum, keraton atau tempat wisata air, tapi silahkan kordinasi apakah ganti rugi atau apa,” jelasnya.
Dalam kesempatan tersebut Dedek menjelaskan dengan data-data dan berkas sah yang dimiliki dzuriyat serta sejarah asal tanah seluas 30 hektar di Pulau Kemaro. Dari yang ada, bahwa Kiyai Marogan atau Mgs Abdul Hamid yang lahir pada tahun 1236 H atau 1802 M merupakan nasab dari Sultan Abdul Rahman Pertama Kali Palembang dan masuk dalam silsilah keturunan Rosululloh SAW ke 34.
Pada tahun 1881 Kiyai Marogan membeli tanah dari Adjidin, dan pada tahun yang sama meminta lima orang yang dipercaya untuk menunggu dan mengolah tanah tersebut dengan dibuktikan surat perjanjian. Namun dalam perjalanan waktu tanah tersebut ingin dikuasai kelima orang tersebut. Sehingga pada pada tahun 1985 ketiga cucunya menggugat ke Pengadilan Negeri (PN) Palembang dan diputuskan tanah tersebut merupakan hak milik Kiyai Marogan.
“Bahkan, kelimanya sempat melakukan upaya banding ke Pengadilan Tinggi (PT), namun putusan PT menguatkan putusan PN. Bahkan hingga ke tingkat kasasi pada 1987 ke Mahkamah Agung putusannya menguatkan putusan PN,” tambahnya.
Tak sampai disitu, tanah milik Kiyai Marogan sempat ingin diserobot oleh PT Intan Sikunyit dan menggugat putusan 1987, karena ada ada Hak Guna Bangunan (HGB) namun, putusan hakim hanya menangguhkan eksekusi bukan membatalkan putusan Mahkamah Agung.
Akhirnya pada tahun 2004, Dzuriyat Kiyai Marogan memasukkan surat penawaran surat ganti rugi ke Klenteng, namun tak ditanggapi. Sehingga ketika itu Dzuriyat mematok tanah tersebut. Saat itu, pihak Klenteng sempat melaporkan ke polisi, namun ketika ditunjukkan bukti sah maka polisi akhirnya tak menanggapi laporan pihak Klenteng.
Selanjutnya pada tahun 2004 Pemkot Palembang mematok tanah tersebut lewat RT, Lurah dan Agraria dengan dalih telah memiliki surat jual beli pada tahun 1957 dari Oesman dan ternyata setelah dicek nama Oesman tak masuk dalam Dzuriyat Kiyai Marogan. Oesman pun disebut-sebut merupakan mafia tanah.
Lalu pada tahun 2014, Dzuriyat melakukan somasi ke Pemkot Palembang dan ketika itu Pemkot akhirnya merespon dan menyebutkan bahwa jika memang tanah tersebut memiliki bukti sah oleh Kiyai Marogan di musyawarahkan saja dan tak perlu hingga masuk ke pengadilan.
Namun bukan solusi atau kordinasi yang didapatkan oleh dengan Dzuriyat, hingga kini pun pihak Pemkot tak menindaklanjuti dan terus melakukan kebijakan seperti akan membangun tempat wisata air dan lain sebagainya.
“Kami berharap Pemkot tak lagi memberi PHP seperti mereka lakukan pada 2014 lalu, jika tidak mau Dzuriyat menembuh jalur hukum,” pungkasnya.