Idealisme Vs Cuan Dalam Menulis

| |

Kop
Wahyu Cahyowati

****

Seringkali, idealisme dan cuan dalam menulis itu berdampingan dan saling mendukung. Namun, kenapa judulnya menjadi versus?. Tentunya, ada pandangan lain yang selama ini mengacak-acak pikiran saya dan malah jadi seperti benang kusut ketika tidak saya keluarkan.

Menurut KBBI V, idealisme adalah aliran ilmu filsafat yang menganggap pikiran atau cita-cita sebagai satu-satunya hal yang benar yang dapat dicamkan dan dipahami; hidup atau berusaha hidup menurut cita-cita, menurut patokan yang dianggap sempurna; aturan yang mementingkan khayal atau fantasi untuk menunjukkan keindahan dan kesempurnaan meskipun tidak sesuai dengan kenyataan. Menulis adalah melahirkan pikiran atau perasaan (seperti mengarang, membuat surat), dengan tulisan.

Dari pengertian tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa idealisme adalah keteguhan pikiran untuk berlaku maupun bertindak sesuai norma, tidak menabrak rel kaidah yang ada. Idealisme dalam menulis adalah keteguhan penulis untuk membuat karya yang sesuai dengan dirinya, sesuai dengan hati nuraninya dengan mengikuti kaidah penulisan yang ada serta mempertimbangkan aspek norma kesusilaan. Tentu saja hal ini tidak mudah, mengingat penulis pun butuh rupiah.

Lha, kok, tidak koheren dengan cuan atau uang yang didapat?. Bukankah tulisan keren selalu mendatangkan cuan berlimpah?. Sebut saja penulis kenamaan Indonesia saat ini seperti Andrea Hirata, Ahmad Faudi, Dee Lestari, Okky Madasari, dan Eka Kurniawan bukannya mereka sudah mereguk pundi-pundi cuan dari karya yang mereka hasilkan?

Agar lebih jelas, mari kita simak penjelasan berikut ini!

Tahun 2017-2019 adalah puncak kejayaan penulis buku cetak, baik itu yang terbit dari penerbit mayor maupun indie. Hal itu, juga menjadi tolok ukur bahwa minat baca kita makin meningkat. Keinginan untuk membaca tulisan seperti novel dan semacamnya naik secara signifikan. Pada tahun tersebut adalah tahun yang menguntungkan bagi semua pihak. Penerbit mayor maupun indie dapat berpesta pora, penulis memiliki kesempatan menikmati hasil jerih payahnya berupa royalty maupun hadiah, dan pembaca dimanjakan dengan bacaan yang beraneka ragam.

Penerbit mayor ugal-ugalan mencari bibit penulis pemula melalui beberapa platform media sosial yang memiliki pangsa pembaca luas. Mereka berani meminang dengan sistem kontrak putus cerita dari Wattpad maupun grup Facebook yang menuai jumlah pembaca hingga ribuan. Kontrak putus banyak diminati oleh penulis pemula karena karya mereka langsung dihargai dengan tunai. Dengan kata lain, karya mereka dibeli dengan harga yang telah disepakati. Resiko dari sistem ini adalah ketika buku yang dicetak tidak habis di pasaran, maka mau tidak mau penerbit menghabiskan stok buku dengan jual rugi ke pembeli agar dapat menutup biaya produksi. Sebaliknya, jika buku yang cetak laris manis, bahkan bisa cetak ulang sekian kali, penulis tidak lagi punya hak untuk menuntut royalti.

Penerbit indie pun tidak mau kalah. Mereka terus memonitor grup menulis di Facebook untuk mendapat peluang agar penulis dengan like maupun pembaca terbanyak dapat mereka gandeng untuk terbit di sana. Selain itu, beberapa penerbit indie bahkan berani menyelenggarakan lomba menulis novel secara maraton selama 30 hari untuk menggaet penulis-penulis baru. Terbit gratis katanya menjadi daya tarik mereka. Iming-iming mengukir nama dalam sejarah ISBN (International Standart Book Number) menjadi magnet paling tinggi agar anak cucu tahu bahwa nenek moyang mereka adalah seorang penulis.

Penerbit indie biasanya meminang dengan sistem royalti bagi hasil dari jumlah penjualan buku. Hal wajar, karena meminang karya dengan sistem kontrak putus atau beli memerlukan alokasi dana yang tidak sedikit tentunya. Resiko dari sistem royalti tentunya jika penjualan buku kurang, penulis pun tidak dapat cuan berlimpah. Namun kelebihan sistem ini adalah ketika penjualan buku meledak di pasaran, mereka akan terus menikmati royalti yang telah disepakati. Untuk lebih memikat penulis, beberapa penerbit indie memberi fasilitas yang tidak kalah oke dari penerbit mayor. Kelebihan itu antara lain perhatian lebih intens, proses terbit lebih cepat, beberapa marketer disiapkan untuk memperluas jangkauan pemasaran.

Melihat geliat masif yang tampak lezat dan tampak menggiurkan dari sisi pemasukan, banyak penulis dadakan yang bermunculan. Si pembaca yang rajin menikmati tulisan, rajin membeli buku penulis terdahulu, banyak yang banting setir menjadi penulis. Keinginan untuk mencoba maupun menambah cuan adalah motivasi paling besar dari mereka.

Puncaknya, ketika virus Covid-19 pada tahun 2020 membuat banyak orang kehilangan mata pencaharian, menulis seolah-olah jadi jawaban dari keterpurukan ekonomi mereka. Menjadi penulis, seperti membuka peluang baru untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah tanpa harus keluar rumah.

Orang-orang tiba-tiba tergugah untuk mengunggah tulisan mereka di media sosial, seperti Facebook maupun Wattpad. Semua berlomba-lomba membuat akun literasi. Tentu saja, hal ini merupakan kabar gembira bagi kita. Setidaknya, makin banyak penulis bermunculan untuk meramaikan jagat perbukuan dengan gaya bercerita yang makin bervariasi pula tentunya.

Setiap tulisan pasti ada pembacanya. Hal itu sangat relevan tentunya. Oleh karena itu, ketika ada nama baru yang membuat karya tulis dan diunggah di media sosial, akan ada pembaca yang memberi komentar. Komentar tersebut bisa berupa pujian maupun kritikan.

Komentar berupa pujian tentu membuat kita bahagia. Namun, jangan sampai pujian tersebut membuat kita lengah. Seringkali, kata-kata sanjungan membuat kita lupa diri dan merasa sudah sangat pantas disebut sebagai penulis sejati. Rasa seperti itu yang membuat kita jumawa. Ketika kejumawaan ini mendominasi hati, akan membuat pikiran kita beku dan tidak mau menerima kritik maupun saran. Inilah yang nantinya justru akan menjerumuskan kita. Alangkah baiknya jika sanjungan yang kita dapat, cukup diartikan sebagai pengakuan akan keberadaan kita dan pengakuan bahwa tulisan kita ada yang membaca. Pengartian ini berfungsi sebagai kontrol hati agar jangan sampai nantinya kita terjatuh karena tidak dapat menggapai ekspektasi yang dibangun sedemikian tinggi.

Ketika komentar berupa kritik atas tulisan kita berisi kelemahan dan kekurangan, jangan buru-buru rendah rendah diri dan apatis untuk menjadi penulis. Sugestikan dalam diri kita bahwa kritik tersebut adalah saran yang tersirat. Dengan adanya kritik justru akan membangun ceritanya kita lebih hidup, lebih runut, dan lebih bermakna tentunya. Dengan kata lain, pikiran kita justru akan makin terasah di saat kritikan itu ada. Secara otomatis, kita diberi kelas menulis gratis dari para pembaca yang notabene adalah juri sesungguhnya.

Akan tetapi, tidak semudah itu pada prakteknya. Penulis-penulis baru ini seperti membuat kelompok-kelompok ketika ada puji dan kritik dilayangkan. Kelompok tersebut adalah:

Si Apatis
Mereka memiliki mental yang belum siap menjadi penulis sesungguhnya. Di sini, mereka hanya bersifat coba-coba dan tidak begitu ingin menggeluti dunia literasi. Ketika tulisan mereka menuai kritik, yang dilakukannya langsung berhenti membuat karya. Tidak peduli dengan waktu yang telah dibuang ketika menulis beribu-ribu kalimat, mereka memilih mundur daripada merasa sakit hati.

Si Oportunis
Penulis dengan jiwa oportunis kebanyakan royal—bagi yang sudah mapan—terhadap pembaca yang memberi puja dan puji kepadanya, entah itu kepada si penulis itu sendiri maupun terhadap karyanya. Royal di sini tidak segan untuk memberi bacaan gratis dan memberi beragam hadiah ketika ada pembacanya yang mau menggelontorkan uang demi membaca karyanya. Biasanya, penulis tipe ini akan banyak pendukung karena orang hanya butuh hadiah tersebut.

Di sisi lain, ia anti terhadap kritik. Ia tidak ingin karyanya diobrak-abrik oleh orang lain. Ia hanya butuh pujian, bukan hal lain. Oleh karena itu, ketika di suatu tempat tulisannya menuai kritik, ia tidak akan menggubris apa yang dikatakan orang-orang. Ia tidak akan mengubah ceritanya. Bahkan, ketika badai kritikan makin kuat, ia akan mengerahkan pengikutnya secara langsung maupun tidak langsung untuk menyerang si pengkritik tersebut.

Si Idealis
Penulis tipe ini paling oke sebagai disebut sebagai penulis. Mereka sangat terbuka menerima kritik dari pembacanya. Apakah metal mereka kuat? Belum tentu. Si idealis bermental kuat, ia akan terus bertahan dan membenahi tulisannya, kemudian segera mengunggahnya lagi. Ia memegang prinsip bahwa tulisan yang bagus adalah tulisan yang terus berkembang dalam hal ide dan penyajian ceritanya. Penulis tipe ini tidak pernah berpuas diri untuk mengasah kemampuan.

Apakah karya tulis dari penulis baru tersebut laku dan bisa mendatangkan cuan? Apakah menulis benar-benar bisa jadi solusi untuk meningkatkan ekonomi setelah diterjang badai pandemi? Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak tergantung dari fungsi, regulasi, dan tentunya hoki.

Penulis ditinjau dari fungsi dan tujuannya terdiri dari:

Penulis materialistis
Penulis ini ada karena desakan atas kebutuhan dan keinginan hidupnya yang belum dapat terpenuhi. Seringkali, kebutuhan dapur dan keluarnya menjadi penyebab utama, meski tidak dipungkiri ada beberapa orang yang bersifat demikian demi eksistensi dan gengsi.

Penulis tipe ini sering disebut pelacur literasi karena menjajakan nafsu kebinatangan manusia pada tulisannya. Kalimat-kalimat vulgar terus dimunculkan untuk menarik pembaca tanpa ada amanat maupun inti cerita sesungguhnya. Yang terpenting baginya adalah banyak yang baca dan banyak yang menggelontorkan uang untuk menghargai imajinasinya. Urusan mutu tulisan, ia kesampingkan.

Jika ingin mendapat cuan dengan instant, menjadi penulus tipe ini adalah jawaban tepat. Namun perlu diingat, kita harus siap dengan resiko yang ada, seperti malu kepada keluarga jika ketahuan kita hanya bisa mengumbar ranjang dan aib. Ditinjau dari segi tatanan sosial dan agama pun berdampak negatif, seperti dosa jariyah karena menjadi sumber rusaknya mental masyarakat pada umumnya dan remaja pada khususnya.

Penulis idealis
Penulis tipe ini biasanya membuat tulisan untuk menyalurkan hobi. Soal cuan yang muncul, baginya hanyalah bonus dari kerja kerasnya. Ketika kita sangat menyukai dengan apa yang kita kerjakan, tentu kita kan melakukan hal yang paling istimewa, bukan? Hal ini yang mendorong si penulis idealis mempertimbangkan dengan masak apa yang akan ia tulis. Tidak jarang, ia berani ikut kelas/kursus menulis demi meningkatkan mutu tulisannya. Demi mengasah kemampuan, tidak jarang ia ikut sayembara. Dengan itulah ia menakar kemampuan yang dimilikinya saat ini.

Jika menginginkan cuan secara instan, jelas saja tipe kedua ini tidak akan efektif. Ia menganggap menulis adalah proses berpikir, berkreatif, dan harus bisa memberi label diri dengan baik. Proses tersebut tidak akan mudah, pasti akan melewati hal-hal sulit dan jalan panjang. Namun, ketika telah memetik hasilnya akan terasa manis.

Akhir tahun 2021, muncullah platform menulis yang digadang-gadang akan menghasilkan cuan. Platform ini memberi reward bulanan semacam gaji yang bisa dinikmati dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Upah payah dari penulis berupa rupiah maupun dollar. Tentu saja, hal ini menjadi kabar menggembirakan bagi penulis. Mereka berlomba-lomba menulis di sana dengan harapan kebutuhan hidup bisa tercukupi.

Platform menulis ini sangat gempita kehadirannya. Penulis yang tadinya ketika cetak buku hanya terjual satu atau dua eksemplar, kini banting setir jadi penulis berbayar tiap bulan yang nominalnya bisa mencapai dua jutaan. Di tengah pandemi yang makin menghimpit perekonomian, menulis di platform digadang-gadang menjadi solusi terbaik.

Tidak ada sesuatu di dunia ini yang benar-benar sempurna. Kebaikan pasti akan diiringi keburukan. Pun dengan kelebihan, pasti akan berdampingan dengan kekurangan. Demikian halnya dengan platform menulis.

Platform menulis dari luar negeri yang menggunakan dollar sebagai bayaran, rata-rata mematok syarat dan ketentuan harus tiap hari unggah tulisan antara 2.000-3.000 kata. Dalam satu judul paling sedikit memiliki jumlah total 100.000 kata agar upah mereka bisa dicairkan.

Akibatnya, penulis tidak punya waktu lagi untuk meninjau kembali apa yang mereka tulis. Waktu terus memburu sehingga banyak tulisan yang kacau tanda baca maupun kaidah penulisannya. Kalimat efektif makin terpinggirkan diganti dengan kalimat panjang-panjang demi mengejar jumlah kata. Banyak dialog kosong bermunculan.

Bagian intrinsik dari cerita pun ikut terberangus ketika cerita buru-buru ditulis. Plothole di mana-mana. Cacat logika sudah jadi pemandangan hal biasa. Alur molor sampai keluar dari rel seharusnya sudah jadi kewajaran. Bahkan, tokoh-tokoh tempelan bermunculan demi mengulur kata tamat dalam cerita hingga sekian ratus ribu kata. Hal ini tentunya mengaburkan amanat utama dalam cerita tersebut. Bahkan, bisa jadi tidak ada lagi amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca selain kalimat mantra “baca tulisanku, agar aku dapat cuan”.

Tahun 2022, penulis-penulis platform menulis makin menggila jumlahnya sehingga persaingan makin ketat. Buku cetak makin terpinggirkan. Banyak penerbit ikut tumbang. Hal itu yang membuat platform menulis digital seolah-olah menang telak. Mereka pun menbuat syarat dan ketentuan lebih ketat dan diluar nalar.

Sebagai perusahaan swasta, platform menulis digital tidak mau merugi dengan membayar penulis yang makin bejibun jumlahnya. Oleh karena itu, selain jumlah kata di atas seratus ribuan dan dikerjakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, retensi baca menentukan pendapatan. Retensi baca adalah ketahanan tingkat baca terhadap cerita. Makin tinggi retensi baca, makin banyak cuan yang dihasilkan. Tentu saja, cuan ini tidak hanya dinikmati oleh penulis, melainkan oleh pemilih platform menulis digital pula.

Cara meningkatkan retensi baca atau menarik jumlah pembaca banyak variasi. Ada penulis yang jeli melihat pangsa pasar. Sifat kebinatangan manusia yang mengedepankan nafsu nyatanya menjadi permintaan paling tinggi dalam penulisan cerita. Mau tidak mau, penulis yang ingin kebutuhan dan keinginan hidup terpenuhi, membuat cerita sesuai permintaan pembaca. Cerita panas soal ranjang menjadi objek paling digemari.

Bagi penulis platform yang masih malu-malu, mereka mencoba memancing emosi untuk memikat pembaca. Judul-judul kontroversi, seperti “Dijual Sahabat Sendiri Justru Jadi Istri Pria Kaya,” “Saat Ibuku Dilecehkan Iparnya di Depan Mataku,” dan lain sejenisnya mereka suguhkan tanpa segan. Intrik perselingkuhan, inses, dan perseteruan antara menantu-mertua-ipar menjadi konsumsi bacaan yang kian menjadi.

Lalu, bagaimana nasib penulis pemula yang tidak ikut latah menulis tulisan panas dengan judul tak kalah ganas?

Segelintir penulis masih bertahan dengan idealismenya. Mereka selalu ingin menyajikan tulisan bagus dengan gaya bercerita yang tidak itu-itu saja. Cara yang ditempuh tidak hanya sebatas mengikuti kelas menulis, penulis minoritas ini bahkan rela membeli buku-buku terbaik untuk meningkatkan kemampuan menulis mereka. Sayangnya, pemasukan mereka dari penjualan buku tidak lagi mencukupi. Beberapa mencoba peruntungan dengan menulis di platform tanpa embel-embel judul memprovokasi, malah tak punya hasil sama sekali. Sangat miris, bukan?

Jika sudah begini, sehatkah dunia literasi kita? Siapa yang bisa mengendalikan ini semua?

Kita tahu bahwa dalam dunia tulis menulis, pembaca adalah sang eksekutor utama untuk menilai karya kita: layak baca dan laku di pasaran atau tidak. Pembaca tidak bisa disetir oleh penulis untuk menyukai karyanya. Mereka memiliki hak mutlak untuk memilih bacaannya. Kecuali, ada campur tangan dari pemerintah. Campur tangan ini tidak hanya imbauan maupun harapan, melainkan regulasi yang benar-benar diterapkan oleh semua lini pada pihak-pihak yang ada kaitannya dengan buku maupun penulisan.

Untuk misal regulasi menulis oleh pemerintah menggelontorkan dana yang sanggup bersaing dengan platform menulis digital melalui pengadaan sayembara secara rutin tiap tahunnya. Dari situ dapat dilihat kemampuan menulis seseorang yang sebenarnya. Dari sana pula pemerintah dapat mengembangkan penulis dalam mendorong peningkatan kuantitas dan kualitas suatu karya.

Peningkatan kuantitas karya dapat berupa bimbingan dan pelatihan membuat karya fiksi maupun nonfiksi, seperti novel, cerita anak, hingga artikel. Hasil karya tersebut dapat dibeli atau kontrak putus oleh pemerintah, kemudian disebarluaskan ke seluruh penjuru negeri. Sementara itu, peningkatan kualitas karya bisa dilakukan dengan pengadaan sayembara menulis. Agar karya yang diterbitkan benar-benar sesuai standar kelayakan baca dari pemerintah. Pemisahan jenjang baca juga perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak bawah umur membaca tulisan yang mengandung kekerasan dan seksual.

Tidak hanya buku fisik, pemerintah juga perlu ikut campur dalam pengaturan regulasi platform menulis digital. Berbagai platform yang kini berkembang, makin ke sini makin amburadul. Mereka tidak butuh penempatan tanda baca yang tepat, tak butuh penggunaan kalimat efektif, tidak pula butuh ide luar biasa, dan tidak butuh penyajian cerita bervariatif. Hal inilah yang justru merusak tatanan karya tulis itu sendiri.

Andaikata pamerintah menerapkan regulasi seperti sistem seleksi platform menulis digital yang bisa berkembang di Indonesia, tentu akan lebih terkontrol. Platform tersebut diuji dalam penerapan kaidah penulisan maupun penyajian cerita ide kreatif, bukan hanya mementingan retensi baca dan durasi jumlah kata dalam cerita. Dengan begini, para penulis platform akan berlomba-lomba membuat cerita yang menarik dan sesuai kaidah penulisan.

Penggunaan kaidah penulisan sangat perlu ditekankan kepada penulis dalam menyajikan cerita. Hal ini karena penulis secara tidak langaung merupakan guru bagi para pembacanya. Bagaimana jika kita menjadi penulis yang asal tulis tanpa mau tahu tentang penggunaan kata baku maupun EYD? Tentunya, ketika pembaca ingin menulis suatu hal maupun kisah akan berkiblat kepada cara penulisan dari penulis kesayangannya, bukan?

Pertanyaannya, kenapa tidak penulis itu sendiri yang mengontrol diri mereka? Kenapa harus pemerintah ikut campur? Bukankah itu makin membuat bengkak biaya dan beban negara?

Penulis mana yang tidak mau mengontrol tulisan mereka agar layak baca dan tidak malu ketika dibaca anak cucu kelak? Apa ada penulis yang dengan bangga memamerkan tulisan esek-eseknya kepada keluarga? Apa ada penulis yang bangga memamerkan judul vulgar bongkar aib rumah tangga kepada keluarganya? Pasti jawabannya tidak ada. Oleh karena itu, penulis seperti itu hampir semua menggunakan nama pena.

Para penulis pastinya sangat ingin punya karya yang bisa dibanggakan dan tidak malu diperlihatkan kepada keluarga, tetapi tuntutan kebutuhan hidup memaksa mereka untuk melacurkan idealisme dalam menulis. Cuan is number one. Tanpa uang tidak akan bisa memenuhi kebutuhan, bukan?

Kita akui bahwa dengan pemerintah campur tangan dalam proses peningkatan mutu literasi, pasti akan ada penambahan biaya dan beban negara. Namun, efeknya akan terasa di semua lini. Selera masyarakat akan ikut berubah seiring berjalannya waktu karena mau tidak mau pembaca hanya bisa membaca apa yang boleh tayang. Dengan begitu, penulis akan terus berusaha menyajikan bacaan yang berkualitas, bukan hanya karya dengan kuantitas berjibun saja.

Semua hal pasti memiliki dampak positif dan negatif. Begitu pula dengan apa yang telah disampaikan. Satu sisi, jika pemerintah ikut campur dalam regulasi penerbitan karya, akan terbit karya berkualitas. Dengan begitu, pembaca akan dimanjakan dengan bacaan yang benar-benar bagus. Namun, di sisi lain, penulis yang menggantungkan hidupnya dari platform digital, tidak akan ada pemasukan lagi. Hal ini dikarenakan kemungkinan penulis yang masih mengusung idealisme tulisannya tidak lebih dari 15% saja.

Jalan terbaik yang ditempuh oleh orang yang melabeli dirinya sebagai penulis adalah dengan kembali belajar menyusun kata dan banyak-banyak membaca untuk meluaskan cara pandang dalam menyajikan cerita. Jangan sampai, kita hanya hobi menulis dan menulis, tetapi tidak sudi membaca karya orang lain. Hal ini sering ditemui, ketika kita merasa sibuk diburu waktu deadline menulis dan merasa tulisan kita yang paling sempurna.

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Waktu yang kita gunakan harusnya lebih banyak membaca ketimbang menulis. Komposisinya kurang lebih 60:40, bukan malah sebaliknya. Karena ketika kita merasa puas dengan tulisan kita sehingga tidak mau belajar dari tulisan orang lain, maka di saat itu pula kemampuan kita telah mati. Kemampuan yang harusnya terus diasah agar makin piawai, malah mandeg dan bisa jadi kualitasnya malah menurun.

Pembelajar tidak hanya kewajiban anak pelajar, bukan? Kita sebagai penulis pun alangkah baiknya jika terus belajar mengasah kemampuan agar karya yang kita hasilkan makin membaik kualitasnya. Makin baik kualitas tulisan kita, tentunya akan menambah nilai untuk mendatangkan cuan.

Oleh karena itu, idealisme dalam menulis tidak bisa diimplementasikan sepenuhnya oleh seluruh orang yang melabeli dirinya dengan sebutan penulis jika tidak ada campur tangan dari pemerintah. Namun, hal ini juga tidak bisa terlaksana jika pemerintah hanya sekadar menggaungkan penggerakkan literasi, sementara tidak ada kesenangan mereka dalam membaca dan menikmati karya tulis.

Terlepas dari itu semua, hak kita sepenuhnya untuk memilih menanggalkan idealisme demi cuan dengan melacurkan tulisan atau terseok-seok memegang teguh idealisme demi berharap cuan akan datang dan mengukir kebanggaan sebagai penulis sungguhan.

print
Sebelumnya

Lapis Tenun Unisia, Cocok Untuk Hantaran Pernikahan

Puding Barbie Ala Yuyun Yulianti, Cocok Untuk Hantaran Pernikahan dan Kue Ultah Lo, Penasaran? Intip Yuk

Berikut