Uci
****
Akademisi Dorong Masyarakat Cerdas Pilih Pemimpin
beritasebelas.id, Palembang – Penyebaran kampanye hitam dan negatif di media massa dan media sosial makin marak jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Sumatera Selatan yang akan digelar pada 27 November 2024 mendatang.
Fenomena ini dikhawatirkan akan berdampak negatif pada kualitas proses demokrasi, bahkan berpotensi menimbulkan konflik antar pendukung calon kepala daerah.
Komisioner Bawaslu Sumsel Massuryati Bidang Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat menjelaskan perbedaan mendasar antara kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign).
Menurutnya, kampanye hitam merupakan strategi tidak etis dan dilarang dalam pemilu karena menyebarkan informasi negatif yang berupa fitnah atau tuduhan palsu, dengan tujuan merusak reputasi seseorang.
Informasi ini biasanya disebarkan oleh sumber anonim dan menggunakan data yang tidak sahih.
“Ini adalah serangan terhadap calon dengan informasi yang tidak sesuai dengan kenyataan,” jelas Massuryati, Rabu (20/11/2024).
Sebaliknya, kampanye negatif lebih menyoroti kelemahan lawan politik dengan data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Kampanye ini bertujuan mengungkap rekam jejak yang dinilai buruk, seperti dugaan keterlibatan dalam kasus korupsi. Namun, masih dalam batas etika yang wajar, ” ujar Massuryati.
Kata Massuryati, Bawaslu Sumsel saat ini terus memantau praktik kampanye hitam dan negatif yang dilakukan para calon kepala daerah, baik di lokasi kampanye, media massa, maupun media sosial.
“Sebagai langkah pencegahan, Bawaslu mengimbau tim kampanye dan masyarakat untuk menghindari praktik-praktik tersebut, serta mengadakan pelatihan dan sosialisasi yang melibatkan masyarakat sebagai pengawas partisipatif, ” kata Massuryati.
Saat ini lanjut Massuryati, Bawaslu Sumsel telah menerima sejumlah laporan dugaan kampanye hitam dan negatif di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
“Dari laporan tersebut, sebagian besar telah diselesaikan, meskipun ada beberapa laporan yang masih dalam tahap kajian awal, ” terang Massuryati.
Komisioner Bawaslu Sumsel Ahmad Naafi menyatakan bahwa saat ini beberapa laporan sedang diverifikasi untuk memastikan apakah memenuhi syarat formil dan materil agar dapat dilanjutkan ke tahap penyelidikan lebih lanjut.
“Kami akan terlebih dahulu memverifikasi apakah laporan ini memenuhi syarat formil maupun materil, ” kata Ahmad singkat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Palembang Dr Martini Idris menekankan bahwa kampanye hitam dapat merusak reputasi seseorang melalui fitnah, hoaks, atau informasi palsu yang sengaja disebarkan.
Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), pelaku kampanye hitam dapat dikenai sanksi pidana hingga 6 tahun penjara dan denda maksimal Rp 1 miliar.
Selain itu, pelaku juga dapat dikenakan sanksi berdasarkan KUHP, khususnya Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu.
“Namun, proses penegakan hukum tidak mudah, karena memerlukan bukti yang cukup serta saksi ahli dalam berbagai bidang,” jelas Martini.
Akademisi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya Haikal Hafafa menyoroti bahwa praktik kampanye hitam dan negatif dapat menciptakan ketidakpercayaan terhadap proses politik, yang seharusnya berlangsung transparan dan demokratis.
“Pemilih yang terpengaruh kampanye hitam sering membuat keputusan berdasarkan ketakutan atau kebencian, bukan pada program dan visi calon,” kata Haikal.
Lebih lanjut Haikal mengatakan bahwa polarisasi masyarakat akibat kampanye hitam bisa menyebabkan perpecahan dan menurunkan kualitas partisipasi publik dalam Pemilu.
Haikal menegaskan bahwa pendidikan literasi media sangat diperlukan untuk mengatasi masalah ini, agar masyarakat mampu memilah informasi yang benar dan menghindari jebakan berita sensasional.
“Saya mengingatkan agar masyarakat tetap kritis dalam menerima informasi dan selalu memeriksa keabsahan berita sebelum menyebarkannya, ” tutup Haikal.