—
Haris
beritasebelas.com, Palembang – Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) RI, biaya yang harus dikeluarkan orangtua agar anaknya bisa bersekolah di SMA Taruna Indonesia tak sesuai dengan fasilitas dan kualitas lulusan sebelumnya.
Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, berdasarkan pengakuan salah satu orangtua siswa, mereka harus merogoh kocek Rp22 juta untuk biaya masuk. Kemudian siswa dibebani iuran per bulan sebesar Rp1,5 juta, serta iuran per semester Rp3 juta.
Pihaknya menyoroti fasilitas sekolah yang tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan orang tua siswa. Bahkan ruang kelas di sekolah tersebut tidak memiliki jendela dan siswa belajar dengan kekurangan cahaya.
“Sarana dan prasarana kurang memadai untuk sekolah berasrama dengan biaya mahal. Saya minta data lulusan sini yang betul-betul ke akademi militer dan polisi, ternyata tidak ada. Yang ada lulusan tahun kemarin hanya masuk Secaba, tidak ada yang masuk Akmil dan Akpol. Saya tidak tahu untuk lulusan tahun sebelumnya. Padahal branding di sekolah ini jual semi militer untuk persiapan Akmil dan Akpol,” katanya.
Untuk itu pihaknya merekomendasikan agar sekolah semi militer tersebut dapat dievaluasi secara total oleh Dinas Pendidikan Sumsel dan rekomendasi tersebut juga disampaikan kepada Presiden RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Menurut Retno, pihaknya telah menyambangi SMA yang telah berdiri sejak 2005 tersebut dan meminta dokumen-dokumen sekolah yang diperlukan sebagai bahan pemeriksaan dan penelitian untuk rekomendasi. Hasil pemeriksaan sementara, pihaknya menganggap bahwa Dinas Pendidikan Sumsel lalai dalam fungsi pengawasan.
Kurangnya pengawasan dari Disdik menyebabkan pihak sekolah melakukan masa orientasi siswa (MOS) yang menyebabkan satu korban tewas dan satu lainnya kritis di rumah sakit. Serta kegiatan long march sejauh 14 kilometer yang menjadi pemicu terjadinya kekerasan usai penutupan MOS dan di luar agenda resmi.
“Long march ini tidak ada di rundown MOS, dilakukan setelah penutupan. Saya tidak mau (kasus) ini ditarik hanya kepada pribadi (tersangka Obby). Jangan-jangan proses ini sudah lama terjadi, hanya saja yang sekarang kekerasan yang dilakukan parah dan menyebabkan siswa meninggal,” imbuhnya.
Dirinya meyakini bentuk kekerasan dalam MOS tidak terjadi secara tiba-tiba hanya di tahun ini pada sekolah yang telah berdiri selama 15 tahun. Adanya 1 siswa tewas dan 1 siswa dalam kondisi kritis akibat kekerasn menimbulkan prasangka dari KPAI bahwa anak lain pun mengalami kekerasan yang sama, namun memilih bungkam.
“Itu ada proses panjang dalam beberapa hari MOS itu, pasti dia (korban) mengalaminya sampai merasa tidak tahan dan akhirnya meninggal. (Korban) yang masih koma harus jadi perhatian, artinya tidak satu orang saja. Jangan-jangan anak lain mengalami tapi tidak bicara. Ini perlu didalami, saya juga akan ke kepolisian untuk menguatkan analisa kita nantinya,” paparnya.
Pihaknya akan mendorong untuk dilakukannya evaluasi total kepada SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia Palembang. Pengawasan dari dinas terkait dan pemerintah provinsi pun harus diperkuat untuk mencegah jatuh korban lainnya.
“Kebetulan sekolah ini habis masa izin Oktober, sesuai akreditasi harus dievaluasi sekolah sejenis ini. Kita dorong evaluasi total termasuk audit keuangan dan program pembelajaran. Kami akan tembuskan rekomendasikan ke Presiden dan Mendikbud. Kita lihat (hasil) evaluasinya, kalau tidak (bagus hasilnya), hentikan pemberian izinnya,” tandasnya.