Sejarah traumatis pandemi di awal triwulan lalu, kembali diulangi Pemerintah Indonesia saat virus corona mulai menyebar dengan cepat menjangkiti warga sedunia. Di mana waktu itu demi mendongkrak ekonomi nasional pemerintah justru asyik memanfaatkan situasi dengan membuka destinasi investasi dan promosi pariwisata.
Namun yang terjadi akhirnya ialah Indonesia terjerembab selama berbulan-bulan, dari Maret, April, dan Mei ke pusaran belenggu pandemi covid-19. Dan kini memasuki triwulan kedua, ada debar dibalik aksi heroiknya pemerintah. Gejala amnesia yang menjangkiti ambisi kekuasaan dalam menutupi kemaluannya mengatasi pandemi covid-19 dengan memberlakukan new normal life, sebuah kebijakan dalam menjalankan tata hidup normal baru sebagai periodesasi pembebasan wilayah pada kondisi darurat bencana non-alam.
Aksi ekstrem pemerintah tersebut disertai dengan keyakinan bahwa penanganan yang tepat terhadap bencana covid-19 ialah dengan mengandalkan imun dari metabolisme tubuh manusia, sehingga pemerintah tidak perlu bersusah payah mencegah penyebarluasan virus. Semakin banyak populasi yang terjangkiti, maka akan membantu membangun kekebalan dan membatasi infeksi di masa depan. Tetapi, teori tersebut sayangnya sudah dimentahkan dengan banyaknya temuan kasus yang kini telah mempapar lebih dari lima juta penduduk di dunia.
Keputusan yang tidak memiliki pijakan tersebut, apalagi cara-cara purba dengan menjaga jarak, cuci tangan, dan tutup mulut (pakai masker) masih menjadi skala prioritas dalam upaya pencegahan penyebaran virus. Sedangkan blueprint (cetak biru) new normal berupa naskah akademik atau riset ilmiah yang hingga kini tidak kunjung dihidangkan dihadapan publik.
Cemas dan emosional dalam merespon kerja pemerintah karena jumlah warga terpapar terus melonjak tajam, bahkan organisasi kesehatan dunia, Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kepala WHO menyampaikan kurva pandemi di Indonesia diproyeksikan akan melonjak pada bulan Juni dan Juli. Jika itu terjadi, di bulan-bulan kedepan Indonesia akan kembali terjebak dalam perangkap yang sama dengan di istilahkan Geertz sebagai state manque, yaitu sebuah negara yang terus menerus melakukan eksprimen, bongkar pasang kebijakan. Namun, jangankan formulanya yang didapati melainkan warganya mati dijadikan kelinci percobaan.
Bagaimana pun bangsa ini bukanlah bangsa terkutuk, masalahnya terletak pada kepemimpinan. Tidak butuh waktu lama menangani pandemi ini, sebab palu di tangan pemegang otoritas tertinggi pemerintahan kebijakan pandemi dapat dihentikan. Retorika populisme yang digarap saat ini hanyalah pemanis bibir dari ketidak sanggupan nya menghadapi krisis akibat masifnya penyebaran virus.
Pemahaman tentang hubungan antara wabah dan keputusan politik, membawa masyarakat secara spontan menyatakan ragu dan bahkan tidak percaya. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi mengemuka di banyak negara. Ketidakpercayaan publik mensasar kepada ketidakmampuan pemerintah dalam mengentaskan pandemi. Dengan tingginya angka korban tidak lantas menyadarkan tentang pentingnya mengedepankan langkah-langkah kemanusiaan. Pemerintah memiliki hukum berpikir dan bertindak sendiri dengan malah cenderung memilih mengedepankan ekonomi melalui penerapan new normal di tengah kewajibannya melakukan pembatasan sosial berskala besar demi untuk menangkal ancaman penyebaran virus corona.
Dalam kondisi darurat covid-19, seharusnya menjadikan negeri ini lebih rasional agar dapat memperkuat bargaining position dengan menjalin hubungan internasional dan solidaritas global guna mengembangkan prosedur tukar-menukar pengetahuan dan menyokong distribusi adil sumber daya kesehatan dan pangan terhadap semua negara yang terdampak covid-19 pada suatu sisi, dengan tanpa memelas kepada pihak asing datang ke dalam negeri untuk berinvestasi.
Dan pada sisi lainnya ialah menemukan kembali jati diri bangsa dengan mendekatkan diri pemimpin dengan diri masyarakat yang dipimpinnya. Karena nahkoda yang sungguh-sungguh ingin selamat dalam badai pandemi pasti mengerakkan seluruh potensi termasuk keragaman yang ada di dalamnya, dan bukan sebaliknya dengan mengejar profit saat kapal oleng akibat masif dan meluasnya penyebaran virus corona.
Apalagi kepentingan ekonomi dimaksud bukanlah tentang pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, melainkan tentang keberlanjutan nasib ekonomi makro dan ekspansi modal yang berskala besar. Hegemoni kekuatan modal (baca : kapitalisme), membuat pemegang otoritas pemerintahan menetapkan kebijakan yang sejalan dengan kepentingan pemodal. Karena bagi politisi mengedepankan ekonomi meski di tengah wabah pandemi adalah pencapaian luar biasa sehingga memperbesar peluang mereka agar terus berkuasa.
Sementara bagi kapitalis, dengan tetap menjalankan aktivitas ekonomi, memungkinkan mereka untuk terus berakumulasi. Jika dunia jujur, pastilah kapitalisme disasar menjadi penanggung jawab mewabahnya virus corona. Karena dorongan sifat bawaannya – akumulasi modal – kapitalis menjadi semakin brutal. Modal menerjang siapa saja yang menghadang setiap tujuan ekspansinya, termasuk merusak keseimbangan ekosistem, sehingga mendekatkan manusia dengan bahaya laten patogen.
Patogen ialah bibit virus atau bakteri yang hidupnya membutuhkan medium (non-manusia) untuk dijadikan inang (berparasit). Tetapi, dengan habitat aslinya yang sekarang ini semakin terberangus disebabkan hutan atau lautan berangsur mengalami kepunahan, dieksploitasi dijadikan tempat akumulasi arus permodalan. Sementara bermutasi patogen merupakan keniscayaan, singkatnya medium patogen mulai berpindah ke tubuh manusia. Proses ini yang memicu penyakit menular, seperti covid-19 yang saat ini mempapar umat manusia di dunia.
Sampai awal bulan Juni 2020, jumlah masyarakat terjangkit covid-19 di Indonesia telah mencapai angka lebih dari 26 ribu jiwa dengan ribuan warga meninggal dunia. Jumlah ini dapat sepuluh kali lipat bertambah mengingat antrean panjang spesimen dan korban yang terus berjatuhan setiap harinya. Di tengah semakin cepatnya penularan wabah covid-19, perdebatan yang muncul adalah apakah new normal diperlukan atau tidak. Dari sini rasionalisasi pemerintah diperlukan.
Sebelum negeri ini benar-benar tenggelam, logika kapitalisme harus dikikis habis, apalagi di masa pandemi, sebab hukum ekonominya bertentangan dengan hukum kemanusiaan. Akumulasi modal yang selalu membicarakan untung-rugi tidak hanya berseberangan, tetapi sangat berlawanan dengan kepedulian terhadap kemanusiaan.
Virus corona tidak datang dan pergi begitu saja, dibutuhkan komitmen dan keberpihakan yang serius untuk mengentaskannya. Keputusan yang sudah diambil diharapkan bukan memuluskan jalan akumulasi di tengah pandemi, karena new normal sejati ialah kehidupan baru pasca pandemi yang merubah struktur sosial, ekonomi dan politik serta menjamin kepastian hukum.