
—
Berita dan informasi tentang Pelaksanaan PSBB di Kota Palembang selalu muncul di media, baik cetak, online maupun media social setelah Palembang ditetapkan menjadi zona merah corona virus disease (covid-19), sejak Jumat (17/4/2020) lalu dengan jumlah kasus positif sebanyak 53 orang. Kemudian terjadinya peningkatan jumlah kasus penularan secara transmisi lokal. Hingga Minggu (03/5/2020), jumlah warga Palembang yang terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai 105 orang. Mereka tersebar di 16 kecamatan, hanya dua kecamatan yang masih belum ditemukan kasus Covid-19, yakni Bukit Kecil dan Gandus, untuk ODP di Kota Palembang sebanyak 1.883 orang dan PDP 134Orang. ( Sumber : Instagram Dinas Kominfo. Provinsi Sumsel).
Pemerintah Kota Palembang berencana mengajukan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) ke Kementerian Kesehatan melalui Gubernur Sumatera Selatan. Walikota Palembang juga telah mengeluarkan Instruksi Walikota Palembang nomor 1 tahun 2020, Tentang Peningkatan Pengendalian, Pencegahan dan Penanganan COVID 19 di Kota Palembang pada tanggal 21 April 2020, sebagai salah satu aturan untuk pengajuan PSBB. Informasi terakhir Pemerintah Kota Palembang bakal mengusulkan pembatasan sosial berskala besar, Senin (4/5/2020), seperti dilansir media online Kompas.id.
Menurut Ratu Dewa Sekretaris Kota Palembang, di asrama haji pada saat razia terkait pelaksanaan Instruksi Walikota Palembang, Kamis (30/4/2020), dan Detik.com Minggu (03/05/2020). Dikatakan bahwa hasil kajian dan lima persyaratan yang diberikan Kementerian Kesehatan sudah dipenuhi. Persyarakatan itu seperti peningkatan kasus di suatu daerah, sebaran wabah, sasaran jaringan pengamanan sosial, ketersediaan sarana dan prasarana, serta keamanan. Pemerintah Kota Palembang kini memperketat protokol kesehatan dengan menjalankan instruksi Walikota Palembang. Pihak pemerintah kota juga terus mengkaji data di lapangan hingga tingkat RT/RW, jangan sampai karena data kurang detail, maka di tingkat Kementerian Kesehatan di tolak. Menurut data sudah ada beberapa daerah yang permohonannya di tolak, yakni Kabupaten Rote Ndao (NTT), Kota Sorong (Papua Barat), Kota Palangka Raya (Kalimantan Tengah), Kabupaten Fakfak (Papua Barat), Kabupaten Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara), Kabupaten Mimika (Papua Barat), dan Provinsi Gorontalo.
Landasan Hukum PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar ) dan Lockdown (Karantina Wilayah)
Dalam paradigma hukum di Indonesia, PSBB maupun lockdown (Karantina Wilayah) memiliki landasan hukum berupa UU nomor 6 tahun 2018, tentang Kekarantinaan Kesehatan. Kekarantinaan Kesehatan menurut UU nomor 6 tahun 2018 merupakan upaya mencegah dan menangkal keluar atau masuknya penyakit dan/atau faktor risiko kesehatan masyarakat yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. Pemberlakuan PSBB maupun lockdown sebenarnya merupakan upaya dari adanya Kedaruratan Kesehatan. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat adalah kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.
Dalam UU nomor 6 tahun 2018, respon dari keadaan darurat kesehatan diantaranya karantina rumah, karantina rumah sakit, rarantina wilayah dan yang kini digagas oleh Presiden Jokowi adalah Pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Jika kita meninjau kepada ketentuan umum dari masing-masing penyelenggaraan dari kedaruratan kesehatan, pun disertai dengan peninjauan terhadap beberapa pasal di dalamnya, seperti pada Pasal 15 ayat 2 tersurat bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan salah satu bentuk tindakan dalam menjalani karantina kesehatan. Dalam ketentuan umum, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Jika kita meninjau lebih jauh definisi PSBB yang tertuang dalam ketentuan umum memiliki prinsip yang hampir sama dengan Social Distancing, yakni adanya pembatasan kegiatan masyarakat.
Sedangkan, karantina wilayah dalam ketentuan umum merupakan pembatasan penduduk dalam suatu wilayah, termasuk wilayah pintu masuk beserta isinya, yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi. Pintu Masuk yang dimaksud disini memiliki arti sebagai tempat masuk dan keluarnya segala jenis kendaraan, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas darat negara. Mekanisme mengenai karantina wilayah diatur pada Pasal 54 dan Pasal 55 dalam UU nomor 6 tahun 2018.
Pasal 54 dijelaskan mengenai mekanisme Karantina Wilayah dalam ayat (2) perlunya pemberian garis pada wilayah yang dikarantina, serta wilayah tersebut harus terus dijaga oleh pejabat karantina kesehatan dan pihak kepolisian, ayat (3) anggota masyarakat yang dikarantina tidak diperbolehkan untuk keluar masuk wilayah yang sedang karantina.
Pasal 55 dijelaskan adanya kewajiban yang harus ditanggung pemerintah guna mendukung pelaksanaan Karantina Wilayah dalam ayat (1) kebutuhan hidup dasar selama masa Karantina Wilayah menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat. Kebutuhan hidup dasar tersebut mencakup kebutuhan hidup dasar seseorang dan makanan hewan ternak yang berada dalam wilayah karantina. Ayat (2) tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Karantina Wilayah pada ayat (1) dapat melibatkan Pemerintah Daerah.
Dari mekanisme penyelenggaraan Karantina Wilayah sesuai Pasal 54 dan Pasal 55 UU nomor 6 tahun 2018 dapat disimpulkan bahwa Karantina Wilayah merupakan nama lain dari kebijakan lockdown. Mengingat kembali bahwa pemerintah daerah sempat memberlakukan kebijakan Karantina Wilayah, atau dikenal sebagai kebijakan local lockdown. Kebijakan ini diterapkan oleh pemeritah daerah dengan tujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat di wilayahnya, agar meminimalisir penyebaran virus corona/Sars-Cov-2. Sebab, menurut alinea keempat, dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa Pemerintah Negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain itu, penerapan local lockdown juga bertujuan untuk melaksanakan salah satu dari tujuan hukum, yakni kemanfaatan.
Kemanfaatan ini dapat dilihat dari kebijakan local lockdown yang diberlakukan di Wilayah Papua. Pemberlakuan local lockdown di wilayah Papua dilatar belakangi karena begitu sedikitnya rumah sakit dan tenaga kesehatan yang memenuhi kriteria untuk menaggulangi kasus Covid-19 ini. Maka Pemerintah Daerah Papua memilih untuk memberlakukan local lockdown untuk meminimalisir pertumpukan pasien di wilayah Papua, yang dikhawatirkan nantinya tidak dapat terlayani dengan baik, dan malah berakibat fatal.
Meski pun dalam pelaksanaan local lockdown oleh pemerintah daerah memiliki kemanfaatan dan bertujuan untuk melindungi warga setempat, tetapi kebijakan local lockdown tersebut tetap tidak diperbolehkan oleh pemerintah pusat, sebab hal ini telah melanggar Pasal 11 UU nomor 6 tahun 2018, yang menegaskan bahwa pemberlakuan kekarantinaan kesehatan merupakan hak absolut pemerintah pusat. Merespon adanya kebijakan local lockdown Presiden Jokowi dalam konferensi pers tanggal 31 Maret 2020 lalu, yang menegaskan bahwa pemerintah daerah tidak diperkenankan untuk membuat kebijakan sendiri-sendiri diwilayahnya.
Pengajuan PSBB di Kota Palembang
Hal krusial yang perlu dicermati adalah bagaimana mekanisme pelaksanaan PSBB. Mekanisme penetapan PSBB di suatu daerah ternyata memerlukan beberapa syarat, di mana syarat ini disinggung dalam PP nomor 21 tahun 2020 dan dipertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9 tahun 2020. Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah untuk mendapat ketetapan PSBB sesuai Pasal 2 Permenkes nomor 9 tahun 2020, yakni adanya peningkatan jumlah kasus, dan atau jumlah kematian secara signifikan di wilayahnya, serta terdapat kaitan epidemilogis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Syarat tersebut harus diajukan oleh kepala daerah (gubernur/bupati/walikota) dengan mengajukan data adanya peningkatan jumlah kasus, adanya peningkatan jumlah penyebaran menurut waktu, serta adanya kejadian transmisi lokal. Data tersebut kemudian harus disertai dengan adanya kurva epidemiologi yang menyatakan telah terjadinya penularan di wilayah tersebut. Selain itu, dalam mengajukan permohonan PSBB, kepala daerah perlu menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan, kemudian, setelah diajukan permohonan tersebut, Menteri Kesehatan akan membentuk tim khusus yang bekerjasama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Virus Corona, dalam rangka melakukan kajian epidemiologis, dengan mempertimbangkan aspek kesiapan daerah tersebut. Nantinya, tim khusus ini memberikan rekomendasi kepada Menteri Kesehatan untuk memberlakukan PSBB. Tetapi rekomendasi tersebut dapat ditolak, ataupun diterima oleh Menteri Kesehatan.
Adanya banyak persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemerintah daerah untuk penetapan status PSBB dalam suatu wilayah berdasarkan Permenkes nomor 9 tahun 2020, dikhawatirkan akan memperlambat proses penanganan Covid-19. Regulasi selanjutnya yang perlu dicermati yakni Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020. PP nomor 21 tahun 2020 merupakan bentuk aturan yang didelegasikan oleh UU nomor 6 tahun 2018, tepatnya pada Pasal 10 ayat 4. Dengan ini, seharusnya sifat Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2020 berperan sebagai peraturan pelaksanaan terkait segala kebijakan yang akan dilaksanakan, guna menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar. Tetapi jika kita mencermati lebih jauh terhadap Pasal 4 PP nomor 21 Tahun 2020, dijelaskan bahwa Pasal 4 ayat (1) Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi (a) peliburan sekolah dan tempat kerja, (b) pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau, (c) pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
Ayat (2) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk. Ayat (3) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar penduduk.
Kalimat pada Pasal 4 ayat (1) benar-benar persis seperti pada Pasal 59 UU nomor 6 tahun 2018, pada Pasal 4 ayat (1) menjelaskan adanya peliburan dalam rangka mengantisipasi penularan Covid-19.
Disamping itu juga Pemerintah Kota Palembang dapat melihat dan mengkaji realisasi kebijakan PSBB yang sudah dilakukan oleh daerah lain, sampai saat ini daerah yang secara resmi melaksanakan PSBB adalah Pemprov DKI Jakarta. Kemudian, Kota Pekanbaru Riau sudah menerapkan PSBB pada 17 April, dan wilayah Tangerang yang terdiri dari Kota Tangerang Selatan, Kota Tangerang, dan Kabupaten Tangerang menerapkan PSBB pada 18 April. Sementara Kota Makassar, Sulawesi Selatan menerapkan PSBB pada 24 April.
Pelaksanaan PSBB di Jakarta diiringi dengan Peraturan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta nomor 33 tahun 2020, sebagai mekanisme pelaksanaan PSBB di Jakarta. Seperti yang disampaikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan bahwa pada hakikatnya seluruh kebijakan yang terkandung dalam Pergub DKI nomor 33 tahun 2020 mencakup segala pembatasan kegiatan diluar rumah seperti yang selama ini telah dihimbau oleh pemerintah. Bedanya, terdapat sanksi bagi yang melanngar PSBB pada Pasal 27 Pergub DKI nomor 33, yang mengacu kepada Pasal 93 UU nomor 6 tahun 2018 yakni, sanksi tersebut berupa pidana penjara paling lama satu tahun dan/ atau pidana denda paling banyak seratus juta rupiah.
Realisasi kebijakan selanjutnya yakni terkait dengan bantuan sosial yang diberikan kepada lapisan masyarakat bawah, diantaranya seperti sembako, bantuan langsung tunai, penggratisan dan diskon biaya listrik oleh golongan tertentu, pelatihan kepada para sopir bus, taksi, dan truk, serta keringanan pembayaran kredit yang ditujukan kepada pelaku UMKM dan ojek online. Penyerahan sembako yang berstatus sebagai bantuan negara, seharusnya digalakan oleh masing-masing Pemerintah Daerah dengan anggaran daerahnya masing-masing, termasuk Pemerintah Kota Palembang.
Kesimpulan
Pandemi global Covid 19 jelas menimbulkan kekhawatiran dari beragam kalangan, khususnya masyarakat. Kekhawatiran masyarakat semakin besar dengan melihat lonjakan kasus yang cukup cepat, serta melihat kurangnya kesiapan beberapa “aspek penting” (APD, Rapid Test, dll), maka masyarakat menuntut pemerintah agar dapat memberikan perlindungan, sesuai amanat UUD 1945. Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diberikan Pemerintah Daerah, termasuk Pemerintah Kota Palembang, yakni adanya sebuah kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Namun, di sisi lain adanya aturan dalam UU No. 6 Tahun 2018 mengisyaratkan bahwa Pemerintah Pusat yang memiliki wewenang untuk mengeluarkan suatu kebijakan PSBB maupun Karantina Wilayah. Maka, hal ini mengakibatkan penerapan kebijakan guna menyikapi adanya Covid-19 menjadi lambat dan butuh proses. Padahal kasus yang sedang dihadapi masyarakat saat ini membutuhkan penanganan secara cepat guna menghindari kasus yang lebih banyak.
Semoga Kebijakan PSBB segera ada keputusan, sehingga tidak ada lagi perdebatan dan stigma negatif di mayarakat khususnya terhadap pelaksanaan kegiatan Sosial dan Beribadah, agak ironis ketika memang belum ada PSBB tetapi pelaksanaan Jumatan dan Tarawih di Masjid sepi bahkan tidak ada sama sekali, akan tetapi di pasar – pasar dan di tempat tertentu masih ada keramaian dan banyak masyarakat yang berkeliaran. Wassalam (berbagai sumber)