****
Oleh : Bety kurniasari S.Pd
Kalau kita ingin menilai dan meneliti pelaksanaan pendidikan yang sekarang berjalan, sungguh agak mengecewakan. Mengapa tidak ?.
Sudah 75 tahun Indonesia Merdeka, seyogyanya dalam kurun waktu selama itu kita telah mendapatkan hasil yang mencerminkan apa yang diharapkan oleh negara kita, yaitu hasil didikan yang mengeluarkan manpower yang berjiwa taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan, bermoral mulia, cinta bangsa dan tanah air, hidup rukun sesama manusia dan saling menghormati (teman, tetangga dan orang tua) tidak sombong sibuk mencari kesenangan dan kepentingan sendiri, ataupun tidak perduli dengan lingkungan sekitar.
Tapi apa hendak dikata, perkembangan tehnology di zaman sekarang semakin pesat berkembang, sehingga sangatlah mempengaruhi bahkan tidak menutup kemungkinan hal-hal negatif pun banyak menjelma. Kehidupan beragama makin lama makin menipis dalam masyarakat, terutama dikalangan terpelajar dan kaum intellegensia.
Bahkan banyak suara-suara yang meremehkan dan kadang-kadang menentang hidup beragama. Larangan-larangan agama dipandang sebagai ikatan atau kekangan yang membatasi kemerdekaan dan hak azazi manusia, sehingga dengan teraturnya ditentang dan dilanggarlah larangan Tuhan. Inilah salah satu hasil negatif perkembangan di zaman sekarang, dimana sila pertama yang menjadi dasar pendidikan yang sesuai dengan dasar negara tidak tercapai bahkan bertentangan sama sekali.
Begitu juga jika dilihat pada sila kedua, perikemanusiaan pun tidak terlihat, semakin tampak kemerosotan moral dalam masyarakat, penyelewengan, perampokan, penipuan dan perbuatan maksiat semakin menjadi-jadi, seolah-olah tidak pernah dialami oleh mereka didikan perikemanusiaan, maka sila kedua pun yang menjadi dasar negara juga menjadi dasar pendidikan, terbukti juga tidak diindahkan.
Selanjutnya jika ditinjau pula dasar kerakyatan, seharusnya segala sesuatu selalu mendahulukan kepentingan rakyat dan dilakukan setelah diputuskan dengan musyawarah dan perundingan. Tetapi apa yang terjadi?, biasanya keluhan dan suara rakyat menghilang. orang-orang banyak menjadi apatis, tidak bersemangat, karena merasa pendapatnya tidak diperhatikan, kepandaian dan pengetahuannya dipandang tak berguna oleh orang yang mempunyai kedudukan dan posisi yang menentukan. Baik dipandang dari segi orang yang merasa tertekan, maupun dari pihak yang menekan, jelas hal ini pula berlawanan dengan dasar dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Dasar negara yang kelima “keadilan sosial “ juga dari pelaksanaanya dalam pendidikan sekarang, penyelewengan, penipuan dan penyalahgunaan kedudukan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral dan agama, Ini pun suatu kegagalan yang dirasakan dalam kehidupan masyarakat sekarang ini.
Melihat fakta dan kenyataan tersebut diatas tidak membawa kepada tujuan yang seharusnya di capai dengan pendidikan nasional. Memang aspek pengajaran pemompaan pengetahuaan ke otak anak didik telah berhasil, sehingga banyak menghasilkan ahli-ahli dan sarjana-sarjana di segala bidang, namun hal ini tidaklah cukup sempurna jika tanpa adanya pendidikan keteladanan dan moral itu sendiri.
Keteladanan merupakan salah satu perilaku (moral) manusia yang sangat berpengaruh terhadap lingkungan. Keteladanan itu sendiri dapat dijadikan sebagai salah satu metode mendidik, dan pendidikan yang menggunakan metode keteladanan adalah sebagai suatu langkah optimal yang berpengaruh terhadap jiwa, raga maupun spritual. Metodelogi pendidikan yang berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan bukanlah suatu yang belum teruji. Tetapi metode keteladanan ini justru telah diterapkan Allah kepada rasul-Nya, Muhammad SAW, agar menjadi teladan bagi umatnya.
Masalah keteladanan menjadi faktor yang amat penting dalam menentukan baik buruk pendidikan anak. Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berahlaq mulia, berani dan menjauhkan diri dari perbuatan nista, maka si anak akan tumbuh berkembang menjadi anak yang santun, jujur dan dipercaya, ujung-ujungnya buah hati kita pun dapat dijadikan anak teladan, sehingga mental anak didik semakin kuat.
Berbagai bentuk “teladan” yang sudah terlanjur menjadi panutan. Bahkan di Indonesia yang mayoritas umat Islam hampir bisa dikatakan tidak mampu lagi menopang arus pendidikan keteladanan yang kering dari nilai spritual, dan akhlaq. Ironisnya, perjalanan pendidikan “keteladanan” yang meninggalkan aspek spritual dan akhlaq itu terus menjadi teladan juga bagi generasi muda. Terlebih lagi dizaman teknologi yang semakin maju mereka (anak muda) justru meneladani sikap arogansinya (kesombongan), pelecehan terhadap agama maupun budaya. Perilaku dari hasil pendidikan yang keliru yang dapat dilihat/ditiru di media sosial televisi maupun dihalaman-halaman rumah,kampung maupun lapangan dan diarus jalan lalu lintas kota yang lalu lalang.
Kini muncul pertanyaan seperti itukah pendidikan keteladanan yang diharapkan. Jawabnya, pastilah tidak demikian yang diharapkan. Lantas apa yang harus dilakukan pendidikan keteladanan.
Yang harus dilakukan adalah merubah cahaya meterialisme dan keegoisan individualistis itu ke jalan kerahmatan ilahi. Allah SWT, telah menyinggungnya dalam terjemahan surat Al Ahzab ayat 43: “Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang)”. (Al-Ahzab:43).