****
beritasebelas.id, Palembang – Cagar budaya merupakan bentuk peninggalan sejarah yang terdiri dari berbagai macam bentuk seperti bangunan, lingkungan bersejarah, situs bahkan permainan-permainan tradisional jaman dulu yang usianya sudah lebih dari 50 tahun.
Hal tersebut dijelaskan oleh Budayawan Sumsel yaitu Kemas AR Panji saat di wawancarai pada Kamis, (10/11/22).
“Kriteria cagar budaya itu hanya dua yaitu usianya 50 tahun atau lebih dan mempunyai nilai manfaat atau nilai penting bagi ilmu pengetahuan masyarakat,” katanya.
Dijelaskan oleh Budayawan tersebut, cagar budaya yang ada di kota Palembang yaitu Benteng Kuto Besak (BKB), Masjid Agung Sultan Mahmud Badarudin Jayo Wikramo hingga Klenteng Dewi Kwan Im yang terletak di kampu 10 Ulu Palembang.
“Untuj menjadikan sebuah bangunan atau situs-situs bersejarah lainnya sebagai cagar budaya, maka pemerintah daerah harus mendaftarkan situs tersebut ke pemerintah pusat,” tuturnya.
Namun yang hingga saat ini menjadi persoalan, Ari menilai jika pemerintah daerah sangat lamban menyadari keberadaan situs-situs sejarah yang ada di kota Palembang dan Sumsel.
“Pemerintah ini terkesan kurang pemahaman tebtang cagar budaya, sehingga terlambat menyadari keberadaan situs-situs bersejarah yang ada di Palembang. Kerugian yang kita alami adalah dengan terlembatnya menyadari dan mendaftarkan situs tersebut akhirnya bangunannya banyak rusak jadi hilang keasliannya,” keluh Ari.
Belum lagi keraguan pemerintah dalam mendapatkan Surat Keputusan (SK) jika mendaftarkan bangunan atau situs yang diduga sebagai cagar budaya, dinilai Ari sebagai langkah yang kurang tepat.
“Harusnya didaftarkan saja dulu, mau dapat SK atau tidak itu urusan belakangan. Yang penting kita sudah duluan mendaftarkan bangunan atau peninggalan tersebut sebagai cagar budaya, masalah layak atau tidak biarlah nanti pusat yang menilai,” tegasnya.
Disebutkan Ari bahwa suatu peninggalan bersejarah atau bangunan dapat dikatakan sebagai cagar budaya apabila sudah mendapatkan SK minimal dari walikota.
“Ada tahapannya, pertama itu SK Perwali, kemudian SK Gubernur dan yang paling tinggi itu SK dari Menteri. Kelebihannya jika sudah terdaftar sebagai salah satu cagar budaya dan mendapatkan SK maka orang tidak berani menghancurkan bangunan atau situ-situs tersebut,” sebutnya.
Ari mengatakan jika pemerintah sendiri tidak memahami apa dan mana saja yang berpotensi menjadi cagar budaya, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap sejarah di kota Palembang dan Sumsel.
“Tindakan paling tepat yang harus dilakukan pemerintah dalam menyelamatkan hal tersebut yaitu dengan cara cepat meregister atau sosialisasi dan penyuluhan. Menempatkan orang-orang yang paham dengan sejarah di dinas kebudayaan karena kalau tidak, maka akan lebih banyak cagar budaya kita yang tidak terselamatkan,” tutupnya