Stempel Hoaks, dan Iklan Digital Programatik Mengandung Konten Informasi Palsu Mendapat Sorotan Banyak Pihak

| |

Kop
Erika

***

beritasebelas.id, Jakarta – Stempel hoaks pada karya jurnalistik yang dikeluarkan aparat menjadi sorotan dalam Indonesia Fact-checking Summit 2021. Hal itu diangkat dalam sesi berjudul “Menggugat Monopoli Kebenaran dalam Stempel Hoaks: Siapa yang Bisa Memeriksa Fakta”.

Para pembicara yang hadir yaitu Gaib Maruto Sigit, Ketua Departemen Hukum dan Advokasi Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Caroline Damanik (Wakil Redaktur Pelaksana Kompas.com), Nuril Hidayah (Ketua Komite Litbang Mafindo).

Gaib Maruto Sigit mengatakan label hoaks tidak bisa diberikan secara serampangan. “Apalagi terhadap karya jurnalistik yang telah melalui proses verifikasi lapangan dan dikeluarkan oleh media kredibel,” ujarnya Kamis, 16 Desember 2021.

Ia menekankan, “Yang bisa memberikan penilaian dari karya jurnalistik adalah Dewan Pers bukan instansi lain.” Ia pun menekankan agar media yang memiliki conflict of interest dengan kepentingan bisnis, tidak melakukan pemeriksa fakta pada karya jurnalistik media lain.

Tidak hanya soal stempel hoaks. Konten mis-disinformasi kerap beredar lebih cepat dan luas dibandingkan konten terverifikasi. Media massa serta pengecek fakta, yang memverifikasi konten, harus memiliki prioritas dan strategi distribusi yang tepat agar hoaks tersebut padam seketika.

Pembahasan ini mengemuka dalam diskusi daring sesi dua bertajuk, “Format dan Pola Distribusi Konten Cek Fakta: Mengapa Konten Verifikasi Kalah Viral dari Hoaks?”, rangkaian Indonesia Fact Check Summit 2021 ini. Hadir dalam diskusi sesi dua ini Aribowo Sasmito (Co-founder and Fack Check Specialist Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Wydia Angga (Producer Podcast Cek Fakta KBR), dokter Adaninggar Prima Nariswari (Youtuber/Tiktoker dengan kontek cek fakta), Fritz V. Wongkar (Tim Cek Fakta TV-Kabar Makassar), serta penanggap dari Google Indonesia, Arianne Santoso.

Fritz beserta rekan-rekannya di Kabar Makassar memilih format tayangan video via Youtube guna menangkal penyebaran hoaks sejak tiga bulan lalu. Publik dapat mengaksesnya via channel Kabar Makassar. Mereka sengaja memilih Youtube karena platform daring ini memiliki pengakses tertinggi di Indonesia, setidaknya berdasarkan survei HootSuite-We Are Social pada Januari 2021.

“Saat ini di newsroom kami hanya ada tujuh orang, jadi nanti ke depan, harapannya bisa lebih banyak (sumber daya),” ujar Fritz yang berencana menggelar pelatihan ke kampus-kampus agar bisa menjaring pengecek fakta potensial di wilayahnya.

Kolaborasi pengecek fakta yang tergabung di Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) dengan Radio KBR memilih format suara dalam pembongkaran hoaks. Konten mereka itu ditayangkan setiap Senin dengan durasi 15 menit lewat siniar (podcast). Konten yang sama juga disiarkan secara daring via laman KBR.ID. “Saat ini sudah ada 173 episode, setiap episode membahas lima hoaks,” kata Wydia dari KBR.

Pemilihan lima hoaks itu berdasarkan ranking hoaks yang paling riuh dari temuan Mafindo. Aribowo memaparkan, kerjasama yang terjalin pasca Media Summit 2018 silam itu mulanya menggunakan format siaran namun semenjak pandemi berubah format karena pembatasan interaksi secara langsung dengan pengecek fakta di KBR.

“Kami ambil lima hoaks dengan engagement tertinggi dari pantauan Mafindo karena itu yang engagement-nya tertinggi, berarti jadi sorotan masyarakat,” imbuh Wydia seraya menambahkan penyebaran via siniar lebih mudah dibandingkan siaran radio yang sifatnya berlalu begitu saja.

Berdasarkan pengalamannya, konten bernada negatif dan berkaitan dengan isu politik merupakan yang paling sering muncul untuk dibahas dalam siniar Cek Fakta yang dikelola KBR. “Konten yang diplintir itu lebih sulit untuk dijelaskan karena terkadang publik menganggap foto atau videonya tidak dimodifikasi,” terang Aribowo.

Guna mensosialisasikan pentingnya menghentikan penyebaran hoaks, Aribowo dan Wydia memilih menyematkan jargon-jargon yang mudah diingat lewat siniar dan siaran. Misalnya, semboyan sharing yang penting bukan yang penting sharing, care with what you share. “Yang paling sering juga jaga emosi, tahan jari, verifikasi sebelum dibagi,” tambah Aribowo.

Dokter spesialis penyakit dalam, Adaninggar Prima Nariswari tergerak membuat konten cek fakta karena dirinya merasa semasa pandemi kerap beredar informasi yang menyesatkan di berbagai media sosial. Konten-konten menyesatkan itu semakin viral jika pesannya disampaikan oleh pejabat publik atau public figure. “Saya memilih buat meluruskan dari lingkungan terdekat dulu,” kata Adaninggar.

Sementara itu pada sesi ketiga, narasumber banyak menyoroti soal peredaran iklan digital (programmatic ads) dari perusahaan teknologi digital yang kontennya memuat informasi palsu. Kondisi ini memprihatinkan karena pada sisi lain, media daring memerlukan pemasukan.

Guna mengatasi kondisi tersebut, para pemantik serta penanggap dalam diskusi bertajuk “​​Membersihkan Iklan Digital (Programmatic Ads) di Media Online dari Potensi Mis/Disinformasi” mendorong perlunya menciptakan ekosistem bisnis yang sehat. Media tetap menjaga kualitas dengan menayangkan iklan yang mematuhi kode etik periklanan dan tidak menyebarkan kebohongan.

Pemantik dalam diskusi ketiga ini, masing-masing, Fakhrurrodzi Baidi (CEO Riauonline.co.id), Moch. Rifki (Head of Publisher Development MGID Indonesia), Heru Margianto (Managing Editor Kompas.com), serta penanggap Denia Isetianti (warganet yang kontennya digunakan tanpa izin dalam pariwara daring), dan FX. Lilik Dwi Mardjianto (Dosen Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara).

Heru menyatakan, pihaknya memutus kerjasama dengan MGID Indonesia karena konten-konten programmatic ads dari perusahaan tersebut kental dengan hoaks. Pelatih pengecek fakta ini memberikan contoh konten iklan produk penurun berat badan yang menggunakan foto hasil comotan dari internet dan narasi yang difabrikasi.

Pengiklan membalut produknya dengan cerita fiksi terkait temuan produk penurun berat badan hingga 15 kilogram dalam satu pekan oleh Rini Kusumastuti. “Yang brutal, sampai-sampai (konten dibuat seolah-olah) Menteri Sosial Risma memberikan penghargaan dan mendukung produk itu,” tegas Heru sembari menegaskan hasil pengecekan fakta tidak menemukan informasi soal temuan perempuan tersebut tidaklah benar adanya.

Alih-alih memutus kerjasama dengan MGID, pengelola programmatic ads, Fakhrurrodzi Baidi menyatakan, pihaknya terus memberikan kritik dan masukan kepada MGID. “Kami kirim via email kepada mereka. Kalau tidak membaik juga maka kredibilitas media juga ikut memburuk. Kalau begitu mungkin kami akan putus kerjasama sementara,” kata Fakhrurrodzi menambahkan.

Menyoal praktik buruk programmatic ads tersebut, Lilik Dwi Mardjianto mengusulkan agar pengiklan, agensi periklanan, perusahaan penyedia teknologi iklan, serta publisher atau media berkolaborasi guna membahas penyelesaiannya. “Ini klise dan pasti lama,” ujar Lilix.

Pihak media, sambung Lilix, mau tidak mau perlu melakukan terobosan dengan mengedepankan prinsip konten aman baru memikirkan profit. Bisa dengan membentuk tim guna verifikasi konten programmatic ads. Selain itu mengedepankan kerjasama dengan perusahaan teknologi yang mengutamakan kualitas konten iklan.

Dewan Periklanan Indonesia juga perlu memastikan seluruh penyelenggara periklanan tunduk pada etika pariwara Indonesia. Prinsip swakrama yang dasarnya dibentuk oleh komunitas periklanan itu sendiri perlu dipegang teguh. “Sudah ada anjuran agar pelaku periklanan melakukan konfirmasi ulang jika menemui informasi yang diduga tidak benar atau tidak tepat,” tambah Lilix.

Menanggapi berbagai kritikan tersebut, Moch. Rifki sebagai perwakilan MGID mengaku sudah melakukan pembenahan bertahap ke manajemen dan tim kontennya. Mereka juga memanfaatkan piranti verifikasi serta pengecekan informasi secara manual guna mengeliminir konten-konten iklan yang diduga disinformasi.

“Di internal kami lakukan edukasi untuk mekanisme advertorial yang benar. Kepada manajemen juga kami sampaikan edukasi terkait pendekatan kepada market Indonesia ada hal-hal yang penting diperhatikan dari sisi konten,” tutur Rifki yang menggunakan skema High Safety Ranking kepada iklan-iklan yang masuk ke MGID dari pengiklan.

Korban dari penggunaan konten di media sosial yang tidak bertanggungjawab untuk pariwara, Denia Isetianti mengapresiasi media massa dan MGID yang menyatakan permohonan maaf secara terbuka usai memuat foto tanpa izin dibalut narasi yang tidak benar.

Warganet bisa mengikuti langkah Denia dengan mengirimkan somasi kepada media massa jika ada foto atau dokumen elektronik miliknya tanpa izin. “Yang jadi catatan saya adalah ketika iklan (yang memuat foto saya) sudah diturunkan, ada lagi iklan dengan foto orang lain. Itu harus diperhitungkan lebih lanjut (oleh media massa) karena jika dipermasalahkan ke polisi dan gugatan pasti panjang urusannya. Denda paling banyak Rp12 miliar dan pasalnya tidak mengharuskan ada kerugian (dari pelapor),” kata Denia.

Hari ini total peserta yang menghadiri tiga sesi diskusi terfokus mencapai 425 peserta. Rangkaian diskusi dan training Indonesia Fact-checking Summit 2021 masih akan berlangsung hingga Senin, 20 Desember 2021. Pendaftaran FGD dan training silakan mengisi link https://bit.ly/PendaftaranFGDIndonesiaFactCheckingSummit2021. Link Google Meet akan dikirim otomatis pada link yang didaftarkan. Sedangkan pendaftaran webinar silakan mengisi link bit.ly/DaftarWebinarFact-CheckingSummit2021 link otomatis akan dikirim ke email yang didaftarkan. *

print
Sebelumnya

Anggota DPRD Sumsel Dapil IX Terima Aduan Guru Honor

Buka Rapimda FKPPI Sumsel, HNU Ajak Kader Dukung Program Pemerintah

Berikut